Menggabungkan Niat Puasa Sunah
Muslimin dan muslimat, banyak di sekeliling kita yang bertanya-tanya seputar shaum sunah Syawal maupun shaum sunah lainya yang ada di bulan Syawal, ataupun di waktu yang lain. Terlebih jika puasa-puasa tersebut bertepatan atau terjadi pada waktu yang bersamaan. Sebagai misal, puasa sunah Ayyamul bidh yang bertepatan dengan puasa sunah Senin-Kamis dan disisi lain ada dari kita yang akan melakukan puasa sunah Syawal. Nah, bagaimana jika kita hendak melakukan puasa-puasa sunah tersebut dalam sekali waktu, apakah boleh menggabungkan niat puasa sunah tersebut ? mari kita pelajari bersama.
Baca juga : Hati-hati Tradisi Riba
Untuk memulai pembahasan ini, mari kita coba perhatikan perkataan Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah dalam Kitab Al-Jawaab Al-Kaafy / Addaau waddawaa' (110),
باب تداخل العبادات فى العبادة الواحدة و هو .... من باب عزيز شريف, لا يدخل منه الا صدق خادق الطلب متضلع من العلم عالى الهمة بحيث يدخل فى عبادة يظفر فيها بعبادات شتى وذلك فضل الله يؤتيه من يشاء
"Bab saling bercampurnya antara banyak ibadah dalam satu ibadah merupakan bab/permasalahan rumit lagi agung, tidak ada yang bisa melakukannya kecuali orang yang benar-benar bersungguh-sungguh, cerdas dalam menuntut ilmu dan memiliki semangat tinggi (dalam beribadah) yang mana tidaklah ia melakukan satuibadah melainkan dengannya ia meraih (pahala) ibadah yang berbeda-beda. Dan ini merupakan karunia Allah yang dianugerahkan kepada siapa saja yang Dia kehendaki"
Masalah ini para Ulama menyebutkan sebagai "At-tadaakhul fil 'ibadaat" (saling bercampurnya antara banyak ibadah, yang jenis, waktu dan sifatnya sama). Atau ada yang menyebutnya dengan "Tadakhul anniyah" ataupun "At-tasyrik fii anniyah".
Terdapat kaidah yang diberikan para ulama (rahimahumullah) dalam bab menggabungkan niat ini :
إذا اتحد جنس العبادتين و أحدهما مراد لذاته والأخر ليس مراد لذاته, فإن العبادتين تتداخلان
"Jika dua ibadah yang sejenis, yang satu maqsudah li dzatiha dan satunya laisa maqsudah li dzatiha, maka dua ibadah ini memungkinkan untuk digabungkan" (dari 'Asyru Masail fii Shaum sitt min Syawal, Dr. Abdul Aziz ar-Rais, hal.17)
Dalam hal ibadah, para ulama membagi ibadah dalam dua kategori.
Pertama, ibadah yang termasuk maqsudah li dzatiha, yang maknanya, Keberadaan ibadah merupakan tujuan utama disyariatkannya ibadah tersebut. Sehingga ibadah ini harus ada secara khusus. Semua ibadah wajib, shalat wajib, puasa wajib, dan sebagainya masuk dalam kategori ini.
Termasuk juga ibadah yang disyariatkan secara khusus adalah shalat witir, dhuha dan seterusnya.
Jenis ibadah pengiring ibadah lain juga termasuk dalam kategori ini, seperti shalat rawatib. Dan sebagian ulama juga menyebutkan puasa enam hari Syawal.
Kedua, ibadah yang termasuk dalam laisa maqsudah li dzatiha, yang maknanya, Keberadaan ibadah itu bukan merupakan tujuan utama disyariatkannya ibadah tersebut. Namun, tujuan utamanya adalah yang penting amalan itu ada di kesempatan tersebut, apapun bentuknya.
Cara agar kita mampu mengetahui apakah suatu ibadah itu termasuk kategori pertama atau kedua, adalah dengan memahami latar belakang dari dalil masing-masing ibadah tersebut.
(Liqa' al-bab al-maftuh, Ibnu Utsaimin, volume 19, no.51).
Berikut contoh yang diberikan ulama untuk lebih mudah memahaminya.
Contoh pertama, Shalat tahiyatul masjid.
Dalil shalat tahiyatul masjid berdasar dari hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
إذا دخل أحدكم المسجد فلا يجلس حتى يصلى ركعتين
"Apabila kalian masuk masjid, jangan duduk sampai shalat dua rakaat" (HR. Bukhari)
Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyarankan agar kita untuk shalat 2 rakaat setiap masuk masjid sebelum duduk. Artinya, yang PENTING jangan duduk terlebih dahulu, tapi shalatlah 2 rakaat dulu. Apapun shalatnya, asal shalat sunah 2 rakaat. Tidak khusus tahiyatul masjid. Bisa shalat rawatib maupun sholat sunah lainnya.
Nah, penjelasanya bahwa keberadaaan shalat tahiyatul masjid itu BUKAN TUJUAN utama. Namun yang penting ada amal, yakni shalat 2 rakaat sebelum duduk ketika masuk masjid. Apapun bentuk shalat tersebut.
Contoh kedua, puasa senin-kamis.
Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ditanya mengapa beliau rajin puasa Senin-Kamis, beliau mengatakan,
"Di dua hari ini (Senin-Kamis), amalan dilaporkan kepada Allah, Rabb semesta alam. Dan saya ingin ketika amalku dilaporkan, saya dalam kondisi PUASA" (HR. Ahmad dan Nasai, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth)
Dalam hadits di atas, siapapun yang PUASA di hari Senin atau Kamis, apapun bentuk puasanya, dia akan mendapatkan keutamaan sebagaimana hadits di atas. Ketika amalannya dilaporkan kepada Allah Ta'ala, dia dalam kondisi berpuasa. Baik ketika dia puasa sunah maupun wajib. Meskipun juga boleh dia melakukan puasa khusus di hari senin atau kamis.
Selanjutnya, dari kaidah di atas, beberapa amal akan bisa digabungkan jika memenuhi dua syarat berikut,
Pertama, amal tersebut jenisnya sama. Shalat dengan shalat, puasa dengan puasa
Kedua, ibadah yang maqsudah li dzatiha tidak boleh lebih dari satu. Karena tidak boleh menggabungkan dua ibadah yang sama-sama maqsudah li dzatiha.
Menggabungkan Niat Puasa Syawal dengan Puasa Senin-Kamis
Dari uraian di atas, puasa syawal termasuk kategori ibadah yang maqsudah li dzatiha dan puasa senin-kamis termasuk ibadah laisa maqsudah li dzatiha.
Sehingga niat keduanya memungkinkan untuk digabungkan. Dan insyaa Allah akan mendapatkan pahala puasa syawal dan puasa senin-kamis. Wallahu a'lam bishawab